Topik 1: Fotografi
Literature Review Jurnal 1
Penulis Jurnal
Fahmi Fardiansyah.
Judul Jurnal
Fotografi Jalanan Bisa Dijadikan Sebagai Ide Untuk Berinovasi di
Bidang Industri Kreatif.
Halaman Jurnal
238-243
Sumber Jurnal
Jurnal2.isi-dps.ac.id/index.php/retina/
Teori
Di era digitalisasi, peran media digital sangat mempengaruhi
perkembangan media-media dan juga fotografi yang dengan sangat
pesat kini bisa dirasakan kemajuannya. Fotografi merupakan media
berekspresi dan komunikasi yang kuat, menawarkan berbagai sudut
pandang dan presepsi, interpretasi, dan ekseskusi yang tidak terbatas.
Sudjojo (2010) mengemukakan bahwa pada dasarnya fotografi
adalah kegiatan merekam dan memanipulasi cahaya untuk
mendapatkan hasil yang kita inginkan. Fotografi dapat dikategorikan
sebagai teknik dan seni.
Dalam perkembangannya, kini semua orang bisa menjadi fotografer
dan merancang foto mereka sendiri menggunakan kecanggihan
teknologi, dan dampak positif tersebut membawa banyak perubahan
baru sekaligus menjadi inovasi industry kreatif. Dan dalam
penyebarannya, fotografi memiliki beberapa jenis genre yang begitu
luas, diantaranya yang saat ini sedang sangat disorot adalah fotografi
jalanan yang memiliki ciri khas kuat. Fotografi jalanan merupakan
salah satu cabang dalam fotografi. Fotografi jalanan dari segi bahasa
adalah fotografi yang diambil di jalanan, fotografi pada cabang ini
merupakan pengambilan gambar secara spontan dan tidak diarahkan
dengan sengaja yang merujuk pada aktifitas jalanan (Alimarauf,
2016).Dalam ilmu filsafat, fotografi dikaitkan dengan teori persepsi, Robbins
(2003: 160) menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses yang
ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan
kesan indera mereka agar memberikan makna bagi lingkungan
mereka. Persepsi merupakan proses memperhatikan dan menyeleksi,
mengorganisasikan dan menafsirkan stimulus lingkungan. Proses
memperlihatkan dan menyeleksi terjadi karena setiap panca indera
yang dimiliki seseorang dihadapkan dengan begitu banyak stimulus
lingkungan Gitosudarmo & Sudita (2015: 16),
Fotografi jalanan merupakan sebuah gambaran yang memiliki emosi
berbeda, fotografi jalanan sebagai representasi dari apa saja yang
sering terjadi di ruang public atau perkotaan dimana banyak
sekumpulan momen dan bisa diolah menjadi cerita yang menarik.
Teknik yang dilakukan seorang fotografer dalam genre fotografi ini
tergantung pada intuisi dalam memotret setiap momen yang ada.
Ruang momen di dalam fotografi jalanan dapat membuka sebuah
sudut pandang baru. Ruang gerak fotografi jalanan didalam kota
membuat kita sadar bahwa kota bukan hanya sekedar tempat tinggal
tapi memiliki hal lain yang coba digambarkan lewat fotografi jalanan
tanpa melupakan estetika karena fotografi tetap bagian dari seni visual
(Zainnahar & Dwicahyo, 2021).
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian merupakan metode kualitatif
deskripsi, untuk dapat lebih mudah menganalisis visual fotografi
jalanan dan berfungsi sebagai penguat data dalam perancangan
penelitian. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat yang digunakan untuk meneliti pada
kondisi ilmiah (Eksperimen) dimana peneliti sebagai instrumen, teknik
pengumpulan data dan di analisis yang bersifat kualitatif lebih
menekan pada makna.Metode tersebut memiliki sebuah karakteristik yang kuat, sangat
sesuai dengan analisis-analisis visual yang akan dilakukan untuk
memperoleh data tersebut dengan menjelaskan masalah atau gejala
yang ada dengan mengumpulkan, menganalisis, kemudian
menginterpretasikan data yang diperoleh. Maka metode kualitatif
digunakan dalam penelitian ini (Fajar et al., 2021). Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder
yang bersumber dari studi literasi yang bertujuan agar analisis yang
dilakukan akurat dan tersampaikan dengan baik (Zainnahar &
Dwicahyo, 2021).
Hasil
Hasil penelitian dengan metode kualitatif deskriptif menunjukan
bahwa fotografi jalanan bisa dijadikan sebuah inovasi dan ide menarik
bagi para penikmat industry kreatif. Konsep yang tersaji dalam
fotografi jalanan merupakan realitas yang sederhana dan menampilkan
objek yang di sorot tanpa adanya rekayasa atau drama didalamnya.
Ketika kesederhanaan dan apa adanya yang dapat timbul di konsep ini
maka telah sampailah kepada tujuan dari fotografer yang
menggunakan konsep ini yang dihasilkan dalam fotonya (Alimarauf,
2016).
Mungkin banyak orang berfikir bahwa fotografi jalanan hanya bisa
memotret aktivitas yang sedang terjadi di lingkungan sekitar, dan
mereka beranggapan bahwa fotografi jalanan tidak bisa berkembang
kedepannya, karena ruang lingkup yang mungkin tergolong cukup
sempit. Tetapi semua itu bisa dimanfaatkan dengan mencari inovasi
inovasi yang menarik dan unik.
Topik : Fotografi
Literature Review Jurnal 2
Penulis Jurnal
Abdee Rangga Bhaskara Prakosa, Amoga Lelo Octaviano.
Judul Jurnal
Estetika Foto Prewedding Karya Hendra Lesmana
Halaman Jurnal
180-186
Sumber Jurnal
abdeerangga@isi-dps.ac.id
Teori
Fotografi merupakan sebuah momen yang dapat diabadikan dan dilihat
kembali dalam sebuah bentuk fisik, salah satu jenis fotografi yang
sangat memorial adalah fotografi pernikahan atau biasa di sebut sebagai
fotografi prewedding. Fotografi pernikahan adalah bentuk fotografi
yang berhubungan dengan pernikahan. Biasanya mencakup peristiwa
beberapa jam terkadang bahkan beberapa hari sebelum pasangan
menikah dan upacaranya sendiri, dari awal hingga akhir.
Seni fotografi pernikahan berkembang sejak ditemukannya foto
permanen pertama pada tahun 1826 oleh Joseph Nicephore
Niepce. Sebenarnya foto pernikahan resmi pertama di dunia mungkin
berasal dari pernikahan Pangeran Albert dan Ratu Victoria pada tahun
1840.
Salah satu fotografer pernikahan yang terkenal di Jakarta adalah Hendra
Lesmana, yang karya-karya nya banyak diminati oleh para penggemar.
Hendra Lesmana atau biasa di panggil Hael adalah seorang Fotographer
Prewedding sekaligus pendiri Cheseenclick juga brand ambassador
kamera Nikon. Menurutnya menjadi seorang fotografer membuat
hidupnya lebih berarti, khususnya pengantin pria dan wanita yang telah
mempercayai sang fotografer tersebut untuk mengabadikan satu-satunya
momen dalam hidup mereka, bagi Hendra Lesmana hal tersebut
menimbulkan perasaan yang fantastis dan sangat menyenangkan juga menantang.
Sebenarnya istilah prewedding sendiri hanya populer di Indonesia. Hal
ini dikarenakan tradisi luar sebenarnya justru tidak menaruh perhatian
khusus pada adanya momen foto sebelum prosesi pernikahan ini.
Adapun untuk luar negeri, khususnya dalam budaya barat hal yang
serupa lebih sering disebut engagement photo. Fotografi prewedding
sendiri sebenarnya merupakan perluasan dari fotografi pernikahan. Hal
ini menjadi ceruk bisnis baru yang cukup menjanjikan bagi para
fotografer. Karena merupakan bagian dari fotografi pernikahan, maka
biasanya foto prewedding dan pernikahan menjadi satu paket yang
dipercayakan pada fotografer atau studio foto yang sama. Namun
demikian hal tersebut tidaklah menjadi keharusan.
Dalam pengambilan foto khususnya untuk fotografi pernikahan sangat
dibutuhkan sebuah pandangan estetika dan realistis yang terkonsep dan
juga dapat menggambarkan setiap karakter dari calon-calon pengantin
yang akan di potret. Menurut (Djelantik, 2004), ilmu estetika adalah
ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan
keindahan, mempelajari semua aspek daripada apa yang disebut dengan
keindahan. Estetika fotografi adalah konsep keindahan pada fotografi
sedangkan Fotografi seni awalnya muncul dari gagasan ingin
mendudukkan status foto sebagai karya seni (seperti halnya karya lukis
atau patung). Berbagai cara yang dilakukan dalam upaya emansipasi itu
melahirkan style-style baru dalam fotografi. Fotografi seni dapat
dimaknai sebagai bentuk kreasi-kreasi baru yang didapat melalui kritik
terhadap seni, termasuk fotografi itu sendiri.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif komposisi untuk dapat
melihat jelas point of interest dalam obyek fotografi. Dalam
pengambilan gambar, terdapat beberapa unsur-unsur pendukung
pengambilan komposisi gambar, yang berupa :1. Wujud (Shape), yaitu tatanan dua dimensional, mulai dari titik,
garis lurus, poligon garis lurus majemuk, terbuka, tertutup), dan
garis lengkung Tekniknya dapat berupa kontras pencahayaan
yang ekstrim seperti siluet, penonjolan detail-detail benda,
mengikutkan subyek menjadi garis luar atau outline dari sebuah
tone warna tertentu.
2. Bentuk (Form), yaitu tatanan yang memberikan kesan tiga
dimensional, seperti kubus, balok, prisma, dan bola. Dalam
fotografi ditunjukkan dengan gradasi cahaya dan bayangan, dan
kekuatan warna. Untuk menghasilkan foto yang baik sebaiknya
mengambil cahaya samping dengan sudut-sudut tertentu, dan
menghindari pencahayaan frontal.
3. Pola (Pattern), yaitu tatanan dari kelompok sejenis yang diulang
untuk mengisi bagian tertentu di dalam bingkai foto, sehingga
memberikan kesan adanya keseragaman. Contohnya adalah foto
segerombolan bebek, tumpukan pot dari tanah liat.
4. Tekstur (Texture) yaitu tatanan yang memberikan kesan tentang
keadaan permukaan suatu benda halus, kasar, beraturan, tidak
beraturan, tajam, lembut, dan seterusnya.
5. Kontras (contrast) atau disebut juga nada, yaitu kesan gelap atau
terang yang menentukan suasana (atmosphere/mood), emosi,
dan penafsiran sebuah citra.
Hasil
Dari objek penelitian yang ada, telah disimpulkan berdasarkan analisa
visual kaidah-kaidah tinjauan fotografi. Hasil karya-karya Hendra
Lesmana merupakan foto yang terlihat sangat ideasional, dan sangat
mendeskripsikan seluruh aspek-aspek teknikal yang digunakan seperti
tata komposisi hingga teknik pencahayaan. Menggunakan teknik POI
(Point Of Interest). Dan dalam karya fotonya, Hendra Lesmana banyak
memainkan teknik angle yang membuat pengamat dapat melihat pesan
pesan yang ingin disampaikan dalam isi foto tersebut.
Topik : Fotografi
Literature Review Jurnal 3
Penulis Jurnal
Andreas Arie Susanto.
Judul Jurnal
Fotografi adalah Seni : Sanggahan terhadap Analisis Roger Scruton
Mengenai Keabsahan Nilai Seni dari Sebuah Foto.
Halaman Jurnal
49-59
Sumber Jurnal
Jurnal2.isi-dps.ac.id/index.php/retina/
Teori
Fotografi sudah sangat akrab dalam kehidupan saat ini, bahkan tidak
berlebihan jika dikatakan fotografi sudah menjelma sebagai sebuah
ikon, zeitgeist atau roh zaman, atau dapat disebut sebagai sebuah gaya
hidup baru dalam masyarakat (Rony, 2014). Zaman yang serba cepat
dan instan membuat setiap manusia mau tidak mau menjadi larut di
dalamnya. Waktu berubah dan cara manusia dalam mengekspresikan
diri, mencari makna dirinya dan orang lain juga ikut berubah (Mudji &
Putranto, 2005: 7).
Di setiap tempat, waktu, dan kesempatan dapat dengan mudah
ditemukan orang yang membawa kamera baik kamera profesional
maupun hanya sekadar kamera yang ada dalam telepon seluler dan
berkemampuan seadanya. Setiap orang seakan tidak ingin kehilangan
momen dalam hidupnya, segala bentuk rupa keindahan dengan cepat
ditangkap dan diabadikan. Kemudahan dan kecepatan yang ditawarkan
oleh fotografi membuat seseorang seakan menjadi seniman karbitan.
Fenomena di sekitar ini menjadi perhatian dalam dunia fotografi yang
akhirnya menimbulkan sebuah pertanyaan mendasar yang sangat
berkaitan dengan estetika dan konsep keindahan, “Apakah fotografi
masih dapat disebut sebagai seni?” Perkembangan fotografi ke arah
digital membuat pertanyaan tersebut menjadi relevan.
Pemilihan objek foto yang asal, proses yang instan, kemudahan dalam mencipta dan menghapus hasil foto semakin mencerminkan tidak
bergantungnya lagi fotografi pada karsa sebagai manusia. Setiap orang
dapat dengan mudah mengambil foto dan tidak memerlukan syarat
khusus seperti halnya seorang pelukis ketika akan memulai melukis di
atas kanvas. Ambiguitas dalam diri fotografi ini juga diamini oleh
seorang filsuf bernama Roger Vernon Scruton. Scruton mengajar
sebagai dosen dan profesor estetika di Birkbeck College, London.
Sepak terjangnya dalam dunia filsafat dan estetika sudah amat dikenal
oleh para ahli. Ia adalah seorang filsuf yang memiliki spesialisasi dalam
bidang estetika khususnya pada musik dan arsitektur. Scruton juga
termasuk salah satu dari empat pendiri Conservative Philosophy Group,
yang bertujuan untuk memelihara pengetahuanpengetahuan konservatif.
Scruton tidak hanya melihat sisi mekanistis dari fotografi, tetapi juga
memperlihatkan kelemahan mendasar fotografi jika ingin disebut seni
melalui perbandingan dengan lukisan. Bagi Scruton, lukisan adalah
suatu bentuk seni yang sempurna. Baginya, lukisan penuh dengan
intensionalitas dari seorang pelukis yang merupakan syarat dari sebuah
representasi (Costello & Philips, 2008: 5).
Dalam esainya, Scruton terlihat mempertahankan argumen-argumennya
dengan menampilkan kemungkinan-kemungkinan keberatan yang akan
diajukan oleh pihak yang tidak menyetujui pernyataannya. Fotografi
bukanlah sebuah seni representasi. Tidak mungkin ada rasa atau nilai
estetis di dalamnya karena foto hanya menampilkan apa yang ada di
foto tersebut dan tidak memasukkan unsur estetis di dalamnya.
Meskipun sebuah foto mengklaim dirinya adalah foto seni, hal tersebut
tetaplah sebuah foto dan bukan sebagai sebuah pekerjaan seni (Costello
& Philips, 2008: 4).
Metode
Penelitian menggunakan metode kualitatif deskriptif dimana Menurut Sugiyono (2013:147). Metode analisis deskriptif adalah statistik yang
digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa
bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau
generalisasi.
Menurut pendapat Scruton pada jurnal mengatakan dalam proses
mengambil gambar harus senantiasa menyertakan unsur kreativitas dan
imajinasi di dalamnya. Dengan demikian, foto yang dihasilkan tidak
hanya sekadar hasil proses mekanisasi dari kamera semata, namun juga
merupakan sebuah hasil kolaborasi antara kamera dengan pemikiran
sebagai manusia yang penuh intensi, imajinasi, dan kreativitas.
Mengeksplor keindahan dari suatu objek yang belum tentu mampu
tertangkap jika hanya diamati dengan menggunakan mata telanjang.
Lebih mementingkan kualitas yang ada dalam diri sang fotografer
dibandingkan mengejar kesempurnaan dalam hal penggunaan kamera
serta lensa yang begitu powerful. Seperti halnya ungkapan zaman
dahulu, yakni man behind the gun. Yang penting bukanlah alatnya,
melainkan orang yang berada di balik alat tersebut. Ungkapan ini
menekankan bahwa fotografi bukanlah sekadar reduplikasi imaji secara
mekanis, melainkan ada unsur subjektivitas serta intensionalitas
fotografer dalam proses fotografis.
Hasil
Budaya massif zaman sekarang membuat banyak orang seakan
mendukung pernyataan Scruton. Pengagungan yang berlebihan terhadap
teknologi seakan sudah menjadi roh permanen zaman ini. Tidak lagi
menjadi penting persoalan kemampuan (skill), tetapi yang menjadi
penting adalah “mempunyai” (having). Dengan demikian, manusia
menjadi bergantung sepenuhnya pada mesin dan menjadi miskin dalam
hal kreativitas dan imajinasi. Fotografi menjadi sebuah tindakan
kausalitas semata seperti apa yang diungkapkan Scruton. Fotografi menghentikan kerja tangan seperti halnya dalam melukis dan
menggantikannya dengan sebuah mata untuk melihat melalui sebuah
lensa.
Ketika teknologi reproduksi seni ditemukan dalam fotografi, di sana
mulai berkembang pula lingkaran-lingkaran pemahaman apresiatif seni
fotografi lewat pengembangan dunia mata. Yang perlu menjadi
perhatian adalah dikotomi antara apresiasi terhadap buah karya seni dan
teknik mesin penggarapnya. Ketika orang menomorsatukan kinerja
mesin lebih daripada karya seni itu sendiri lalu yang berkembang adalah
teknik dari fotografi yang pada titik ekstrem melupakan bahwa hal
tersebut adalah suatu proses estetika.
Kelemahan dalam pendapat Scruton adalah ia tidak melihat pada proses
penciptaan sebuah imaji melainkan langsung pada hasil foto yang tentu
saja terlihat transparan. Di satu sisi, Scruton kurang tepat dalam
membandingkan fotografi dengan lukisan. Semua memiliki ciri khas
masing-masing. Secara konseptual, fotografi adalah cara menghasilkan
karya visual dengan menggunakan cahaya, tetapi sejauh mana bisa
memberi nilai lebih pada foto yang dihasilkan itulah seni fotografi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar